Matahari sudah meninggi ketika kaki kecil yang masih mengenakan seragam merah putih itu berlari menuruni bukit gersang, menuju pinggir kali dan menghampirinya.
“Assalamualaikum Ibu,” seru suara mungil itu.
Dia lantas menoleh dan menyambut gadis manis berkepang dua yang menghampirinya dan menjabat tangannya.
“Mmmn… Anak Ibu bau kecut,” celetuknya, membuat gadis kecil itu nyengir memperlihatkan dua gigi depannya yang tanggal. “Pulang dulu sana! Ganti baju trus makan ya! Ibu sudah siapkan makanan di meja.”
Tanpa di komando dua kali Ais si gadis kecil itu kembali berlari menaiki bukit menuju rumahnya yang berada di sebelah bukit pasir tandus.
Setelah mengusap peluhnya dia kembali pada kegiatannya, mengayunkan palu besar dan menghantamkannya pada batu kali hingga hancur dan menjadi kerikil. Panas matahari yang terasa berada tepat di ubun-ubunnya yang siap membakar sekujur tubuhnya, tak lantas membuat Khadijah menyerah. Musim kemarau panjang yang hampir terjadi sepanjang tahun di desanya menjadikan keuntungan tersendiri baginya. Dengan begitu dia bisa mencari batu di sungai yang mengering dan memecahnya hingga menjadi kerikil yang nantinya di angkut dengan truk dan di bawa ke kota.
Dengan semangat membara sepanas. matahari yang tiap hari membakar hangus kulitnya dia memecah batu, menjadikannya berkeping-keping tak peduli biarpun hatinya sendiri telah hancur berkeping-keping. Peluh dan air mata sama-sama membanjiri wajahnya.
“Pergi sana! Dasar goblog,” pria itu mendorong tubuhnya hingga tersungkur di lantai setelah dia mengambil sejumlah uang dari dalam lemari. Uang yang sudah lama dia kumpulkan sedikit demi sedikit demi membeli seragam baru untuk Ais lenyap begitu saja.
Tiba-tiba dia teringat Ais yang selalu merengek meminta dibelikan seragam baru karena seragam miliknya sudah usang, itupun seragam bekas milik tetangga yang dengan senang hati memberikannya pada Ais. Hatinya menangis, pilu rasanya. Sakit yang sudah lama dia derita. Batinnya serasa dicabik-cabik. Untung saja Ais tidak melihat kejadian ini, karena sedang bermain di luar bersama teman-temannya. Tak tahu alasan apalagi yang akan dia utarakan supaya Ais tidak membenci pria yang sekarang enggan dia panggil Bapak.
“Ais benci Bapak,” hatinya terluka mendengar kalimat itu terlontar dari bibir bocah berusia delapan tahun. Walaupun dia selalu menanamkan pada benak Ais bahwa Bapak bukanlah orang jahat, dan bahwa Ais harus selalu menyayangi dan menghormati Bapaknya tetapi Ais menolak. Dengan tegas dia menolak menghormati sang Ayah yang sering memukuli dan membuat Ibunya terluka. Bahkan gadis sekecil Ais saja memiliki pendirian untuk melawan. Lantas kenapa dirinya tidak bisa memiliki keberanian?
Dia masih ingat ketika sang pria yang dulu sangat mencintainya, sangat menghormatinya sebagai wanita, mencoba merayunya dan mencuri hatinya. Masih berusia delapan belas tahun dia kala itu, gadis belia yang sedang semangat mengejar cita-citanya terkalahkan oleh cinta dan dengan suka rela merebahkan tubuhnya pada altar suci bertatahkan cinta.
“Aku sangat mencintaimu,” pria itu mengecup keningnya dengan lembut.
Dengan penuh keimanan meletakkan takdirnya di tangan seorang pria yang baru dia kenal beberapa bulan. Demi mereguk indahnya pernikahan dia rela memupus impiannya bahkan menentang kedua orang tuanya.
“Aku juga mencintaimu, Bang,” balasnya dengan penuh keyakinan.
Awalnya semua indah, manis mahligai rumah tangganya di awal tahun pertama. Namun ketika si Ais sang malaikat kecil mereka hadir, tiba-tiba seperti ada yang aneh dengan pria yang dinikahinya itu tak seperti dulu. Pria itu lebih perasa dan pemarah. Sedikit kesalahan saja dapat membuatnya murka hingga melayangkan tangan. Padahal dulu dia merupakan sosok pria lembut yang penuh cinta. Tapi kenapa dia bisa berubah?
Terlebih lagi setelah dia di pecat dari pekerjaannya setahun silam, membuatnya hanya luntang-lantung tidak jelas. Menghabiskan hari dengan main judi dan malam di tempat hiburan. Dia terpaksa banting tulang demi kelangsungan hidupnya dan si bocah karena sang suami sudah tak menafkahinya lagi, malah dia kini yang menyediakan segala kebutuhan sang suami yang hampir tiap hari pulang dengan keadaan mabuk dan meminta uang, jika tidak di turuti tubuhnya yang menjadi sasaran.
Terkadang dia menyesali semuanya, menyesali jalan yang dia pilih harusnya dia tidak mengabaikan nasihat kedua orang tuanya, harusnya dia kejar mimpi-mimpinya hingga ke angkasa, harusnya dia. Dia mulai meneteskan air mata. Tidak. Dia tidak boleh menyesal. Andai dia menyesali jalan hidupnya berarti dia juga menyesali Ais, bocah lugu tanpa dosa yang tidak tahu apa-apa. Hanya Ais yang membuatnya rela bertahan dan melewati sakitnya hari demi hari, yang mencabik-cabik batinnya, yang memukul pedih hatinya, seperti palu yang tiap hari dia ayunkan untuk memecahkan batu, seperti itu pula hatinya yang setiap hari dipukul hancur berkeping-keping.
Prakk. Batu itu hancur berserakan.
Prakk. Dia pukul lagi hingga hancur berkeping-keping.
Prakk.
“DIJAH,” teriak seorang pria yang berjalan sempoyongan menghampirinya.
Dengan bergegas dia bangkit berlari ke arah pria itu dan menyerahkan sejumlah uang yang sedari tadi dia simpan dalam saku bajunya.
“Assalamualaikum Ibu,” seru suara mungil itu.
Dia lantas menoleh dan menyambut gadis manis berkepang dua yang menghampirinya dan menjabat tangannya.
“Mmmn… Anak Ibu bau kecut,” celetuknya, membuat gadis kecil itu nyengir memperlihatkan dua gigi depannya yang tanggal. “Pulang dulu sana! Ganti baju trus makan ya! Ibu sudah siapkan makanan di meja.”
Tanpa di komando dua kali Ais si gadis kecil itu kembali berlari menaiki bukit menuju rumahnya yang berada di sebelah bukit pasir tandus.
Setelah mengusap peluhnya dia kembali pada kegiatannya, mengayunkan palu besar dan menghantamkannya pada batu kali hingga hancur dan menjadi kerikil. Panas matahari yang terasa berada tepat di ubun-ubunnya yang siap membakar sekujur tubuhnya, tak lantas membuat Khadijah menyerah. Musim kemarau panjang yang hampir terjadi sepanjang tahun di desanya menjadikan keuntungan tersendiri baginya. Dengan begitu dia bisa mencari batu di sungai yang mengering dan memecahnya hingga menjadi kerikil yang nantinya di angkut dengan truk dan di bawa ke kota.
Dengan semangat membara sepanas. matahari yang tiap hari membakar hangus kulitnya dia memecah batu, menjadikannya berkeping-keping tak peduli biarpun hatinya sendiri telah hancur berkeping-keping. Peluh dan air mata sama-sama membanjiri wajahnya.
“Pergi sana! Dasar goblog,” pria itu mendorong tubuhnya hingga tersungkur di lantai setelah dia mengambil sejumlah uang dari dalam lemari. Uang yang sudah lama dia kumpulkan sedikit demi sedikit demi membeli seragam baru untuk Ais lenyap begitu saja.
Tiba-tiba dia teringat Ais yang selalu merengek meminta dibelikan seragam baru karena seragam miliknya sudah usang, itupun seragam bekas milik tetangga yang dengan senang hati memberikannya pada Ais. Hatinya menangis, pilu rasanya. Sakit yang sudah lama dia derita. Batinnya serasa dicabik-cabik. Untung saja Ais tidak melihat kejadian ini, karena sedang bermain di luar bersama teman-temannya. Tak tahu alasan apalagi yang akan dia utarakan supaya Ais tidak membenci pria yang sekarang enggan dia panggil Bapak.
“Ais benci Bapak,” hatinya terluka mendengar kalimat itu terlontar dari bibir bocah berusia delapan tahun. Walaupun dia selalu menanamkan pada benak Ais bahwa Bapak bukanlah orang jahat, dan bahwa Ais harus selalu menyayangi dan menghormati Bapaknya tetapi Ais menolak. Dengan tegas dia menolak menghormati sang Ayah yang sering memukuli dan membuat Ibunya terluka. Bahkan gadis sekecil Ais saja memiliki pendirian untuk melawan. Lantas kenapa dirinya tidak bisa memiliki keberanian?
Dia masih ingat ketika sang pria yang dulu sangat mencintainya, sangat menghormatinya sebagai wanita, mencoba merayunya dan mencuri hatinya. Masih berusia delapan belas tahun dia kala itu, gadis belia yang sedang semangat mengejar cita-citanya terkalahkan oleh cinta dan dengan suka rela merebahkan tubuhnya pada altar suci bertatahkan cinta.
“Aku sangat mencintaimu,” pria itu mengecup keningnya dengan lembut.
Dengan penuh keimanan meletakkan takdirnya di tangan seorang pria yang baru dia kenal beberapa bulan. Demi mereguk indahnya pernikahan dia rela memupus impiannya bahkan menentang kedua orang tuanya.
“Aku juga mencintaimu, Bang,” balasnya dengan penuh keyakinan.
Awalnya semua indah, manis mahligai rumah tangganya di awal tahun pertama. Namun ketika si Ais sang malaikat kecil mereka hadir, tiba-tiba seperti ada yang aneh dengan pria yang dinikahinya itu tak seperti dulu. Pria itu lebih perasa dan pemarah. Sedikit kesalahan saja dapat membuatnya murka hingga melayangkan tangan. Padahal dulu dia merupakan sosok pria lembut yang penuh cinta. Tapi kenapa dia bisa berubah?
Terlebih lagi setelah dia di pecat dari pekerjaannya setahun silam, membuatnya hanya luntang-lantung tidak jelas. Menghabiskan hari dengan main judi dan malam di tempat hiburan. Dia terpaksa banting tulang demi kelangsungan hidupnya dan si bocah karena sang suami sudah tak menafkahinya lagi, malah dia kini yang menyediakan segala kebutuhan sang suami yang hampir tiap hari pulang dengan keadaan mabuk dan meminta uang, jika tidak di turuti tubuhnya yang menjadi sasaran.
Terkadang dia menyesali semuanya, menyesali jalan yang dia pilih harusnya dia tidak mengabaikan nasihat kedua orang tuanya, harusnya dia kejar mimpi-mimpinya hingga ke angkasa, harusnya dia. Dia mulai meneteskan air mata. Tidak. Dia tidak boleh menyesal. Andai dia menyesali jalan hidupnya berarti dia juga menyesali Ais, bocah lugu tanpa dosa yang tidak tahu apa-apa. Hanya Ais yang membuatnya rela bertahan dan melewati sakitnya hari demi hari, yang mencabik-cabik batinnya, yang memukul pedih hatinya, seperti palu yang tiap hari dia ayunkan untuk memecahkan batu, seperti itu pula hatinya yang setiap hari dipukul hancur berkeping-keping.
Prakk. Batu itu hancur berserakan.
Prakk. Dia pukul lagi hingga hancur berkeping-keping.
Prakk.
“DIJAH,” teriak seorang pria yang berjalan sempoyongan menghampirinya.
Dengan bergegas dia bangkit berlari ke arah pria itu dan menyerahkan sejumlah uang yang sedari tadi dia simpan dalam saku bajunya.
Ketegaran dijah yang menggantikan suami membanting tulang memecah baju, hiks sedih
ReplyDeleteTapi masi bias endingnya, pria yang di paragraf akhir itu bapaknya ais ato boss majikan dijahnya
hidup memang seperti teka-teki silang yang harus kita pecahkan jawabannya., entah jawaban atau keputusan yg kita ambil itu benar atau salah yang penting kita sudah mengambil keputusan itu, walaupun hari esuk kita harus memperbaiki diri kalau putusan/ jawaban yg kita ambil itu salah.., karena hidup adalah sebuah perjuangan.
ReplyDeleteHmmmm, pria memang begitu ketika ada maunya sangat baik dan baik namun ketika hati telah tergoda oleh sesuatu yang dulunya indah jadi tempat luapan marah.
ReplyDeleteTapi salut dengan ketabahan Dijah demi buah hatinya rela berjuang memecah batu.
Dan cerita ini mampu menyentuh hatiku. Sedih. Perih. Ah, jadi baber saya.
Perjuangan Dijah patut dijadikan contoh telandan, agar tidak mudah menyerah walau jaman semakin keras
ReplyDeleteCinta telah membuat seirang Diah mengubur cita-cita dan mengabaikan nasehat org tua
ReplyDeletesemua sdh terjd penyesan sll datang terlambat, saatnya berbenah agar tdk mengulangi kesalahan yang sama
jauhkanlah sifatku seperti pria itu walau cobaan sberat apapun dikehidupanku, sedih rasanya baca cerita ini mbak
ReplyDeleteNyimak
ReplyDeleteWanita selalu leih kuat dari apapun. Sangat kuat! Makasih kisahna Mbak, aku kok mbrebes mili ya...
ReplyDeleteKok gw jadi sedih yah bacanya...
ReplyDeleteAis ? namanya mengingatkan sinetron di tv jaman dulu, keluarga cemara, mungkin ada yg masih ingeet ..:D
ReplyDeleteBahkan, Ais, si bocah berusia 8 tahun sudah membenci ayahnya yang suka berbuat kasar terhadap sang Ibu.
ReplyDeleteHmmmm.... kisah yang sangat mentrenyuhkan.
Kita tidak harus lantas berputus asa ketika harapan tidak sesuai kenyataan.
Mungkin dengan cara itulah, Allah menguji kesabaran Khadijah.
Gambarnya serem, dililit akar... :|
ReplyDeleteKak, kotak komenarnya gak muncul kalo di PC. Kenapa ya?
ReplyDeleteini aku komen lewat pc
Delete