Showing posts with label Cerbung. Show all posts
Showing posts with label Cerbung. Show all posts
Stacy sangat membenci kucing, dia akan mengusir bahkan tidak segan memukul kucing yang berada di dekatnya. Termasuk Kopi, kucing milik Audry, adik Stacy. Apalagi di saat Stacy sedang pusing memikirkan masalah dengan sahabatnya, Lia. Yang belakangan dekat dengan Elga, pemuda yang Stacy sukai. Kopi yang tidak sengaja masuk ke dalam kamarnya menjadi sasaran kemarahan Stacy. Namun sesuatu yang aneh terjadi pada tubuh Stacy, tiba-tiba saja dia berubah menjadi mahluk yang paling dia benci. Baca Cerita Sebelumnya: Stacat (Chapter 1)




"Meong... Meong..."

Ups, kenapa suaraku jadi aneh gini? Batin Stacy. Tiba-tiba dia merasakan ada yang aneh dengan dirinya. Tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu halus berwarna putih dan dia memiliki ekor. Hah, ekor?

Stacy berlari berputar-putar mengejar ekornya sendiri hingga dia merasa kepalanya pusing dan mulai kelelahan.

"Hei, lihatlah kucing itu. Aneh," ujar seekor kucing berwarna belang kuning dan abu-abu yang datang bersama kucing berwarna hitam pekat.

"Siapa dia? Sepertinya anak baru," sahut si kucing hitam.

"Sedang apa kalian, cepat pergi! Aku jijik sekali dengan kucing-kucing ini," Stacy mengenali mereka adalah kucing liar yang suka masuk seenaknya ke dalam rumah dan mengambil makanan. "Tunggu... Kalian bisa bicara?"

Kedua kucing itu tertawa dan mengatakan bahwa Stacy sudah gila.

"Arghhh... Bagaimana mungkin, kalian nggak mungkin bisa ngomong kan," Stacy berteriak histeris.

"Tentu aja kita bisa ngomong. Gimana sih, dasar kucing aneh," Kucing Hitam itu berjalan mendekati Stacy yang ketakutan. Bagaimana bisa tubuh kucing itu jadi jauh lebih besar darinya.

"Si-siapa yang kalian maksud kucing aneh?"

"Kamu kucing baru ya? Darimana asalmu?"

Stacy semakin tidak mengerti, kenapa kedua kucing liar itu menyebutnya kucing.

"Jangan ganggu dia!" seekor kucing berwarna coklat datang muncul dari kegelapan.

"Kopi," bisik Stacy dalam hati. Ngapain sih, Audry ngasih nama kucing itu Kopi? Kan jadi aneh nyebutnya tau.

"Selamat malam Kopi? Belum bobok? Sudah potong kuku kan? Hahaha," Kucing berwarna hitam itu seperti sedang mengolok-olok Kopi. Dia menunjukkan kuku-kuku jarinya yang tajam seperti siap akan menerkam. Dia tersenyum menyeringai.

Stacy ingat bahwa Audry secara rutin membersihkan tubuh Kopi termasuk memotong kuku jarinya agar kucing itu tidak mencakar-cakar perabotan di rumah mereka. Karena jika Stacy mengetahuinya, dia tidak segan untuk memukul Kopi dengan gagang sapu.

"Kenapa kalian suka sekali mengganggu kucing lain?" Kopi berjalan ke arah Stacy dan menjauhkan kucing hitam itu darinya.

"Kita nggak ganggu dia kok, kita cuma pengen kenalan," sahut kucing berwarna kuning.

"Sebaiknya kalian pergi atau-"

"Atau apa? Ngadu sama majikanmu? Sebaiknya kamu yang masuk, bahaya kalau sampai Feri lihat kamu berkeliaran di luar rumah."

Kedua kucing itu tertawa sebelum akhirnya mereka menghilang di balik kegelapan. Kini tinggal Stacy dan Kopi.

Stacy berusaha melompat ke arah jendela kamarnya. Tapi entah kenapa dia tidak bisa melompat, selalu gagal yang pada akhirnya membuatnya menabrak tembok. Padahal seharusnya dia bisa melompat seperti kucing lainnya, atau mungkin karena dia belum terbiasa dengan tubuh barunya itu.

"Jangan masuk ke sana. Bahaya!" seru Kopi. "Kakaknya Audry nggak suka sama kucing apalagi kucing liar yang masuk kamarnya, kamu bisa dipukul pakai gagang sapu. Sebaiknya kamu pergi."

Setelah memperingatkan Stacy agar tidak masuk ke kamarnya sendiri, Kopi pergi meninggalkannya. Dengan tubuh barunya yang berbentuk kucing, Kopi tentu saja tidak dapat mengenalinya, bahwa dialah Stacy, kakak Audry yang suka memukul dan mengusirnya.

"Tunggu!" Stacy mengejar Kopi.

"Kamu sebaiknya pergi!"

"Aku nggak tahu harus kemana," ujar Stacy sedih.

"Kamu nggak bisa masuk ke sini."

Kopi berjalan menuju celah kotak berukuran tubuhnya yang terletak di bagian bawah pintu, tertutup oleh tirai plastik berwarna merah menyala. Terlihat kontras dengan pintu yang berwarna coklat.

Stacy menatap Kopi yang melompat masuk ke dalam celah berbentuk kotak itu lalu menghilang. Dia seolah ingin menangis saat itu juga. Kenapa dia harus mengalami hal seperti ini dan sekarang Stacy tidak tahu harus kemana ataupun berbuat apa.


To Be Continued


Baca Cerita Sebelumnya: The Stranger (Chapter 1)



Selma duduk berjongkok dengan menelungkupkan kepala di antara kedua kakinya, sementara pria misterius yang tiba-tiba muncul berbarengan dengan sekelompok orang yang menghancurkan kamar hotelnya. Selma yakin, bukan dirinya target utama orang-orang itu. Tapi pria asing ini. Siapa dia?

Pria itu sedang sibuk berbicara melalui ponselnya dengan seseorang yang terus dia panggil John. Setelah selesai berbicara pria itu lalu membuang ponselnya di tempat sampah dan menghampiri Selma.

"Ayo kita pergi."

Selma mengangkat kepalanya menatap pria yang kini berdiri di depannya. Matanya merah dan sembab. Tentu saja tidak mudah bagi seorang gadis biasa seperti Selma menghadapi situasi seperti ini. Membayangkan puluhan hingga ratusan peluru menyasar tak tentu arah dan meledakkan kamar hotelnya. Sementara dia harus mempercayai pria asing ini. Ketika dia berteriak untuk lompat, Selma pun melompat dari ketinggian lantai dua dan mendarat di rerumputan sementara yang Selma yakini hanyalah kalimat 'just trust me.'

"Who are you?" pertanyaan yang sedari tadi tidak mendapatkan jawaban sama sekali, bahkan pria ini seolah mengacuhkan kekacauan yang terjadi pada diri Selma. Setidaknya dia harus tahu, dia percaya pada siapa.

"Kita harus segera pergi."

Pria itu menarik tangan Selma, namun Selma membuang tangan pria itu dan mulai berteriak histeris memukul-mukul dada dan wajahnya. Selma benar-benar kacau sekarang. Dengan sekejap pria itu menangkap kedua tangan Selma untuk menghentikan gerakannya. Pria itu menatap Selma tajam. Matanya berwarna abu-abu. Selma terdiam dengan isak tertahan.

"Lihat itu!" pria itu menunjuk layar televisi yang bergantung di atas ruang tunggu stasiun subway. Sebuah acara berita yang mengabarkan tentang pesawat Varig dari Sao Paulo menuju Amsterdam meledak 15 menit setelah lepas landas.

"Astaga," Selma menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

"Turuti perintahku jika kamu masih ingin hidup." Selma mengangguk.
***


Pria itu membawa Selma masuk ke dalam subway tujuan Maracana. Suasana di dalam sangat lengang karena memang sudah tengah malam. Selma duduk dengan tubuh gemetar, dia terus mengigit jari-jari kukunya berusaha mengusir bayangan menakutkan tentang kamar hotel dan pesawat yang meledak.

"Tenang saja, kamu aman bersamaku," ujar pria itu seolah mengerti kecemasan yang Selma rasakan.

Aman? Selma baru saja ditembaki di kamar hotelnya dan pesawat yang hendak dia naiki meledak dan pria itu masih bisa bilang dia aman.

"Siapa kamu sebenarnya?"

"Declan Gormley. Aku adalah agen IMF."

"International Monetary Fund?"

"Bukan. Impossible Mission Federation."

"Makanan sejenis apa itu?"

Pria bernama Declan itu tersenyum tipis mendengar pertanyaan bodoh Selma. Sepertinya gadis ini benar-benar sedang terguncang. Declan mengeluarkan sebuah ponsel dari saku jaketnya dan menunjukkan sebuah foto pada Selma.

"Kamu mengenal pria ini?"

Selma memperhatikan foto itu dan teringat seseorang yang dia temui di Bandara Sao Paulo lima hari lalu, hari pertama dia menginjakkan kaki di Brazil.

"Aku menabraknya di Bandara."

"Dia juga seorang agen IMF sepertiku."

"Lalu apa hubungannya dia denganku? Dengan semua kejadian ini? Penembak di kamar hotel dan pesawat yang meledak. Apa yang sebenarnya terjadi?" Selma mulai emosional lagi.

"Pria ini memiliki sebuah informasi penting yang diinginkan oleh kelompok mafia terbesar di Sao Paulo. Dia harus menyerahkan informasi ini segera ke IMF. Tapi di perjalanan beberapa orang mengejarnya dan dia terpaksa menitipkan informasi ini padamu, sebelum dia terbunuh."

"Aku?" Selma kembali mengulang kejadian ketika pria itu menabraknya saat keluar dari toilet. Di saat itulah pria itu memasukkan sebuah kepingan CD ke dalam tasnya.

"Awalnya mereka tidak menyadari informasi itu ada padamu, hingga kemarin mereka merencanakan untuk meledakkan pesawatmu lalu membunuhmu di hotel."

"Jadi kamu yang merencanakan pembatalan penerbanganku? Ya kan?"

"Aku juga mengatur agar pelayan restoran itu memberimu caipirinha. Akan bagus jika kamu terjaga sepanjang malam."

"Lalu bagaimana dengan informasi itu? Aku sudah tidak memilikinya."

"Aku sudah mengambilnya. Sangat mudah."

Tiba-tiba saja subway yang mereka naiki berhenti dan terdengar suara orang berteriak ketika segerombolan orang bersenjata masuk ke dalam subway dan mulai menembak ke arah mereka.

"Menunduk!" Declan menekan kepala Selma agar tubuhnya berlindung di bawah kursi, sementara mengeluarkan pistol dan balas menembaki mereka. 2 orang tertembak dan muncul lebih banyak orang lagi yang menembaki mereka secara brutal.

Declan menarik Selma menjauh. Tapi gadis itu terus saja berteriak histeris dan justru menutup matanya. Sehingga beberapa kali Selma terjatuh dan tertinggal. Tapi dengan sabar Declan membimbingnya ke tempat yang lebih aman dengan terus melancarkan tembakan. Jika salah langkah sedikit saja mereka bisa tertembak dan mati.

Sebuah tembakan meleset hampir saja mengenai kaki Selma dan membuat Selma terpental ke sisi kiri sementara Declan berada di sisi kanan. Selma menunduk berlindung di bawah bangku subway mengikuti perintah Declan. Sementara Declan terus berusaha mendekati Selma namun terlahalang oleh tembakan beruntun yang diarahkan kepada mereka. Mereka tidak akan selamat jika terus bertahan di sini. Mereka harus pergi, tapi tidak mudah menjangkau Selma yang sebenarnya hanya berjarak beberapa langkah saja.

Hingga mereka menghentikan tembakan karena harus mengisi pelurunya. Ini lah waktu yang tepat. Dia tahu waktunya tidak banyak, dengan gerakan sangat cepat Declan mulai menembak mereka. 1, 2 tembakan mengenai tepat dada dan kepala. 2 orang di antara mereka ambruk. Kemudian Declan melangkah maju dengan tetap berlindung di antara kursi dia kembali menembak seorang lagi.

Tinggal tersisa dua orang, mereka telah selesai mengisi pistolnya dan kembali menembaki Deklan. Sebuah peluru nyaris mengenai telinga kirinya andai dia tidak segera menghindar. Declan membalas dengan 2 kali tembakan dan terdengar bunyi debuman. Seseorang tersungkur.

Saat pelurunya telah habis, dia justru melempar pistolnya dan mengenai pria berkepala plontos itu. Satu satunya pria yang tersisa. Pistol pria itu jatuh terlempar ke udara. Setelah mereka sama-sama tidak bersenjata, Declan keluar dari persembunyiaannya dan bersiap menghadapi pria itu.

"Aku akan membunuhmu, Gringo."

Pria itu mendorong perut Declan dengan kepalanya sehingga membuat Declan mundur ke belakang beberapa langkah. Declan berusaha memukul pria itu dengan kedua sikunya untuk melepaskan kepala pria itu dari tubuhnya.

Declan tersungkur dan pria itu berusaha meraih Declan, tapi Declan berhasil menendang wajahnya dan membuat pria itu terjatuh hingga menghantam kursi. Kini situasi berbalik, Declan berdiri dan memukul wajah pria itu dua kali. Namun pria itu menjegal kaki Declan sehingga Declan kembali terjatuh dan harus menerima pukulan bertubi di wajahnya.

DARR... Pria itu tiba-tiba tersungkur, jatuh menimpa tubuh Declan. Dari balik pria itu Declan melihat Selma mengacungkan sebuah pistol dengan tangan gemetar. Declan tidak percaya Selma memiliki keberanian sebesar itu.

Declan menyingkirkan tubuh pria itu dari atas tubuhnya dan berjalan mendekati Selma. Declan mengambil pistol tersebut dari tangan Selma lalu membuangnya.

"Tidak apa-apa. Semuanya sudah berakhir."
***


"Ada tim yang akan menjemputmu dan membawamu pulang ke Jakarta. Setelah itu kamu akan aman. Semuanya akan berakhir. Percayalah!"

Selma mengangguk. Entah kenapa setiap kali menatap mata Declan, Selma menjadi tenang dan percaya semua akan baik-baik saja. Mereka keluar dari Stasiun Maracana dan dengan berjalan kaki melewati jalan kecil yang sepi. Sebuah mobil van hitam bertengger di ujung jalan. Declan mengatakan mobil itu yang akan membawa Selma pulang.

Mereka mempercepat langkah agar dapat cepat-cepat membawa Selma ke tempat yang aman. Tapi mobil van itu tiba-tiba meledak dan membuat mereka terpental terjatuh di aspal. Selma melihat Declan yang berada beberapa langkah darinya nampak kesakitan dengan darah mengalir di dahinya. Keadaan Selma tidak lebih baik. Benturan hebat membuat lengannya terluka dan rasanya tulang punggungnya patah. Beberapa orang bersenjata kembali mendekati mereka, namun kali ini mereka tidak sendiri. 2 buah mobil van penuh dengan anggota IMF datang membuat baku tembak kembali tak terelakkan.

Lagi-lagi Selma harus mendengar suara tembakan yang memekakkan telinga dan kepalanya hampir pecah karena kembali harus menghadapi situasi seperti ini.

"Declan," Selma berusaha membangunkan Declan yang terlihat tidak sadarkan diri. Ketika Selma hendak meraih Declan, beberapa orang menarik tubuhnya dan memasukkan dia ke dalam ambulance.
***


Selma terbangun di dalam ruangan serba putih dengan perban memenuhi lengannya dan kepalanya terasa sangat pusing. Ketika seorang dokter berbicara dan menghiburnya dengan senyum khas 'kamu akan baik-baik saja', seorang laki-laki berpenampilan perlente masuk dan memperkenalkan namanya John Musgrave.

Dia mewakili IMF meminta maaf dan berjanji akan membawanya pulang dengan aman dalam beberapa jam lagi. Separuh kalimat John Musgrave tertelan angin.

Selma tidak lagi memikirkan tentang keselamatannya. Kini dia justru memikirkan si orang asing yang telah mendobrak segala batasan dan ketenangan hidupnya. Tapi lebih dari itu, Declan telah menjaga Selma hingga saat ini. Dan Selma menantikan kapan mereka akan bertemu lagi.



-THE END-



Catatan: Gringo = Bahasa Latin untuk menyebutkan orang asing atau lebih spesifik, orang kulit putih yang berasal dari Amerika Utara.



Setelah antre lebih dari dua jam di depan counter chek in pesawat Varig di Airport International Sao Paulo, Selma mendapat kabar mengejutkan bahwa dia tidak bisa berangkat. Seorang wanita yang merupakan petugas counter mengatakan.

"Anda tidak bisa berangkat karena penerbangan Varig rute Sao Paulo - Amsterdam sudah overbooked."

Sekitar puluhan calon penumpang protes dan memaki petugas counter, pasalnya mereka termasuk dirinya sudah mengantongi tiket Sao Paulo - Amsterdam dengan status ok.

Akhirnya Selma terpaksa menerima tawaran menginap semalam lagi di salah satu hotel bintang empat di Sao Paulo. Petugas counter juga menjanjikan penerbangan keesokan harinya, bahkan saat itu juga dia diberi boarding pass untuk penerbangan tunda itu.

Selma pikir tidak ada salahnya jika menginap semalam lagi. Meskipun sebenarnya dia sudah terlanjur janji dengan Rama untuk mampir sehari di Amsterdam. Sekalian istirahat sebelum melanjutkan perjalanan ke Jakarta selama 12 - 13 jam. Rute penerbangan dari Jakarta ke Sao Paulo hanya bisa ditempuh dengan penerbangan terlebih dahulu dari Frankfurt (Jerman ), Amsterdam (Belanda) atau Los Angeles (AS). Lalu di lanjutkan dengan penerbangan selama 9 - 11 jam dari lokasi-lokasi tersebut ke Sao Paulo. Total perjalanan dari Sao Paulo ke Jakarta memakan waktu 21 - 24 jam. Selma harus benar-benar mempersiapkan stamina.

***



Setelah makan malam di restoran hotel tempat dia menginap, Selma masuk ke dalam kamar, perutnya terasa sedikit mual. Sebenarnya makanan khas Brazil cukup ramah untuk lidahnya. Banyak makanan yang berbahan dasar sea food dimasak dengan santan dan aneka rempah-rempah yang membuat rasanya lebih kaya. Tapi sialnya dia justru memilih minuman yang salah, saat pelayan restoran menyarankan dirinya untuk mencoba caipirinha, dia mengiyakan saja. Baru setelah tegukan pertama dia menyadari bahwa minuman ini berbahan. dasar alkohol. Minuman khas Brazil sejenis cooktail ini dibuat dari campuran alkohol, air, gula pasir dan jeruk limau.

Lebih sial lagi pelayan itu mengatakan bahwa minuman itu bisa membuat Selma terjaga sepanjang malam.

"Sial," Selma masuk ke dalam kamarnya. kemudian membanting tubuhnya di tempat tidur. Ukuran kamarnya cukup besar, dibanding kamar hotel, tempatnya menginap ini lebih menyerupai apartemen.

Tiba-tiba ponselnya berbunyi, whatsaap dari Rama.

'Hei, kenapa? Kamu nggak jadi ke sini?'

Mungkin gara-gara pesan terakhir Selma yang mengatakan dia batal ke Amsterdam hari ini. Selma mulai mengetik pesan di ponselnya dan mengirimnya pada Rama.

'Bukannya nggak jadi, tapi ditunda. Ajaib sekali penerbanganku dibatalkan padahal aku sudah mengantongi tiket berstatus ok. Selain itu kesalahanku juga tidak buru-buru meng-issued tiket karena nggak sempat menukarkan uang asing, tiket yang aku booking tiba-tiba berubah harga menjadi dua kali lipat, kalau dirupiahkan bisa mencapai 5,2 juta tauk.'

Keluh Selma yang dibalas dengan emoticon pacman oleh Rama.

'Tut Gauw,' balas Rama lagi.

Samar-samar terdengar suara seseorang berusaha membuka pintu kamarnya. Sial, Selma lupa mengunci pintunya.

"Who are you?"

Seorang pria yang dari fisiknya tidak terlihat seperti warga lokal membuka pintu kamarnya dan berteriak 'menunduk'. Pria itu masuk dan menarik tubuh Selma untuk berlindung di bawah tempat tidur ketika puluhan peluru memecahkan jendela kamarnya.

"WHO ARE YOU?" Selma berteriak tidak terkendali melihat puluhan peluru menuju ke arahnya dari luar jendela dan kaca jendela yang hancur berkeping-keping berserakan memenuhi lantai.

Pria itu berusaha menenangkan Selma yang histeris ketakutan. Dengan menatap mata Selma tajam, pria itu berkata.

"Just trust me."