"Dani, dia sudah punya pacar," Rani tiba-tiba saja muncul dari belakang, dengan wajah muram.
Aku memperhatikan wajahnya sekilas dan kembali fokus menunggu angkot yang biasanya lewat pada jam pulang kantor seperti ini. Tapi entah kenapa tiba-tiba sepi. Padahal sudah pukul 5 lewat lima belas menit. Artinya aku sudah berdiri hampir seperempat jam di sini.
"Siapa?" celetukku.
Rani diam sejenak sambil menutupi matanya. Mungkin malu kalau orang tahu dia sedang menangis.
"Jafar."
Oh, laki-laki berjenggot tipis yang suka pakai topi dan selalu memutar lagu gambus di dalam mobilnya. Namanya saja mirip tokoh antagonis di film Aladin.
"Jafar sudah punya pacar," tiba-tiba saja tangis Rani pecah. Beberapa orang yang lewat di sekitar kami refleks menatapku penuh curiga. Jujur aku sudah tidak terlalu peduli dengan ulah Rani yang hampir selalu membuatku malu. Seperti dua hari lalu saat makan siang bersama, dia menumpahkan minuman tepat di celana bagian depan. Sehingga aku nampak seperti habis ngompol.
"Mau makan?" hanya itu mungkin yang bisa ku lakukan untuk membawanya pergi dari keramaian, perempatan jalan tempat nunggu angkot. Akan aneh jika aku biarkan dia nangis dan curhat di sini.
"Lagi diet. Ngopi aja yuk."
"Boleh."
"Kamu yang bayar."
"Iya."
Kami tiba di sebuah kedai kopi dan langsung duduk di kursi panjang dekat meja kasir. Ornamen manis menghiasi seluruh sudut kedai. Paduan warna jingga polkadot dan beberapa lukisan reaslis menghiasi dinding bersama sebuah papan tulis hitam yang bertuliskan menu spesial hari ini.
Aku memesan secangkir Latte sementara Rani memesan kopi Bali Kintamani. Itupun harus berantem dulu dengan baristanya ketika Rani meminta tambahan gula sedangkan barista yang ku tahu bernama Chico, dari tanda pengenal di dadanya bersikeras tidak mau memberi tambahan gula karena bisa merusak cita rasa kopi katanya. Akhirnya Rani menyerah.
"Dia sudah punya pacar tapi kenapa dia deketin aku, seolah-olah ngasih harapan," Rani mulai. Bercerita.
Aku jadi teringat sebuah meme komik yang tidak sengaja aku lihat di facebook. Sebuah gambar berlatar belakang coklat dan bertuliskan, 'Mendung belum tentu akan hujan. PDKT belum tentu dipacarin.'
"Kenapa aku nggak pernah ketemu sama laki-laki baik. Kenapa harus ketemu sama..." Rani menghentikan kalimatnya.
Aku tahu. Lantaran hampir tiap bulan kami datang ke kedai ini dengan cerita yang sama namun kronologinya berbeda. Bulan lalu dia menangis gara-gara pria bernama Indra, seorang sales asuransi yang kemana-mana minta dibayarin. Bahkan untuk sekedar ongkos naik ojek. Atau Gofar yang ngakunya eksekutif muda ternyata suami orang dan sudah punya anak lima.
"Kamu yang harusnya introspeksi diri!" kataku sambil nyeruput latte yang meninggalkan busa krim di bibir atas kemudian aku jilat untuk menghilangkannya.
"Aku? Apa yang salah sama aku?"
"Kamu terlalu lugu, terlalu percaya sama laki-laki yang baru kamu kenal."
"Memangnya kenapa sama mereka?"
"Entahlah, tapi yang jelas hampir tiap bulan kamu nangis di sini gara-gara siapa?"
"Namanya juga usaha," wajah Rani jadi berubah ketika meminum kopinya. Aku yakin karena rasa kopinya yang asam dan ada sedikit pahit yang bikin pening untuk orang yang tidak biasa minum kopi hitam.
"Usaha kamu terlalu keras, hingga percaya sama setiap laki-laki yang deketin kamu."
"Aku kan sedang berusaha biar cepat dapat jodoh, nggak seperti kamu. Nggak laku."
"Aku ini high quality jomblo. Bukannya nggak laku. Aku sedang menunggu seseorang yang tepat. Nggak seperti kamu, sembarangan mau dideketin orang."
"Memangnya seseorang yang tepat yang seperti apa?"
Rani menatapku dengan satu tangan memangku dagu. Matanya mengerjap menunggu jawaban. Aku menelan ludah. Sisa tegukan latte yang tadinya ku seruput nikmat kini menusuk tekak.
"Entahlah," jawabku sambil membuang muka ke arah jendela.
***
Sudah lewat pukul 10 malam ketika aku masuk kamar kost setelah menemani Rani jalan-jalan berbelanja. Ritual wajib bagi wanita yang sedang patah hati seperti Rani.
Setelah meletakkan tas kerja, aku duduk sejenak di tepi tempat tidur. Merenggangkan kaki. Pegal. Sejak kecil Rani memang gemar sekali menggangguku dalam segala hal. Aku adalah orang pertama yang dihubunginya ketika merasa sedih. Selain harus siap menjadi pendengarnya aku juga harus siap menjadi penghibur untuk mengobati kesedihannya. Meskipun harus menjadi badut, aku rela asal dapat melihat Rani tertawa.
Aku membuka laci meja yang berada di samping tempat tidur, mengeluarkan sebuah buku berwarna coklat dan membukanya. Selembar foto seorang gadis kecil tersenyum menunjukkan gigi tanggalnya.
"Kamulah orang yang tepat itu, Ran."
Aku memperhatikan wajahnya sekilas dan kembali fokus menunggu angkot yang biasanya lewat pada jam pulang kantor seperti ini. Tapi entah kenapa tiba-tiba sepi. Padahal sudah pukul 5 lewat lima belas menit. Artinya aku sudah berdiri hampir seperempat jam di sini.
"Siapa?" celetukku.
Rani diam sejenak sambil menutupi matanya. Mungkin malu kalau orang tahu dia sedang menangis.
"Jafar."
Oh, laki-laki berjenggot tipis yang suka pakai topi dan selalu memutar lagu gambus di dalam mobilnya. Namanya saja mirip tokoh antagonis di film Aladin.
"Jafar sudah punya pacar," tiba-tiba saja tangis Rani pecah. Beberapa orang yang lewat di sekitar kami refleks menatapku penuh curiga. Jujur aku sudah tidak terlalu peduli dengan ulah Rani yang hampir selalu membuatku malu. Seperti dua hari lalu saat makan siang bersama, dia menumpahkan minuman tepat di celana bagian depan. Sehingga aku nampak seperti habis ngompol.
"Mau makan?" hanya itu mungkin yang bisa ku lakukan untuk membawanya pergi dari keramaian, perempatan jalan tempat nunggu angkot. Akan aneh jika aku biarkan dia nangis dan curhat di sini.
"Lagi diet. Ngopi aja yuk."
"Boleh."
"Kamu yang bayar."
"Iya."
Kami tiba di sebuah kedai kopi dan langsung duduk di kursi panjang dekat meja kasir. Ornamen manis menghiasi seluruh sudut kedai. Paduan warna jingga polkadot dan beberapa lukisan reaslis menghiasi dinding bersama sebuah papan tulis hitam yang bertuliskan menu spesial hari ini.
Aku memesan secangkir Latte sementara Rani memesan kopi Bali Kintamani. Itupun harus berantem dulu dengan baristanya ketika Rani meminta tambahan gula sedangkan barista yang ku tahu bernama Chico, dari tanda pengenal di dadanya bersikeras tidak mau memberi tambahan gula karena bisa merusak cita rasa kopi katanya. Akhirnya Rani menyerah.
"Dia sudah punya pacar tapi kenapa dia deketin aku, seolah-olah ngasih harapan," Rani mulai. Bercerita.
Aku jadi teringat sebuah meme komik yang tidak sengaja aku lihat di facebook. Sebuah gambar berlatar belakang coklat dan bertuliskan, 'Mendung belum tentu akan hujan. PDKT belum tentu dipacarin.'
"Kenapa aku nggak pernah ketemu sama laki-laki baik. Kenapa harus ketemu sama..." Rani menghentikan kalimatnya.
Aku tahu. Lantaran hampir tiap bulan kami datang ke kedai ini dengan cerita yang sama namun kronologinya berbeda. Bulan lalu dia menangis gara-gara pria bernama Indra, seorang sales asuransi yang kemana-mana minta dibayarin. Bahkan untuk sekedar ongkos naik ojek. Atau Gofar yang ngakunya eksekutif muda ternyata suami orang dan sudah punya anak lima.
"Kamu yang harusnya introspeksi diri!" kataku sambil nyeruput latte yang meninggalkan busa krim di bibir atas kemudian aku jilat untuk menghilangkannya.
"Aku? Apa yang salah sama aku?"
"Kamu terlalu lugu, terlalu percaya sama laki-laki yang baru kamu kenal."
"Memangnya kenapa sama mereka?"
"Entahlah, tapi yang jelas hampir tiap bulan kamu nangis di sini gara-gara siapa?"
"Namanya juga usaha," wajah Rani jadi berubah ketika meminum kopinya. Aku yakin karena rasa kopinya yang asam dan ada sedikit pahit yang bikin pening untuk orang yang tidak biasa minum kopi hitam.
"Usaha kamu terlalu keras, hingga percaya sama setiap laki-laki yang deketin kamu."
"Aku kan sedang berusaha biar cepat dapat jodoh, nggak seperti kamu. Nggak laku."
"Aku ini high quality jomblo. Bukannya nggak laku. Aku sedang menunggu seseorang yang tepat. Nggak seperti kamu, sembarangan mau dideketin orang."
"Memangnya seseorang yang tepat yang seperti apa?"
Rani menatapku dengan satu tangan memangku dagu. Matanya mengerjap menunggu jawaban. Aku menelan ludah. Sisa tegukan latte yang tadinya ku seruput nikmat kini menusuk tekak.
"Entahlah," jawabku sambil membuang muka ke arah jendela.
Sudah lewat pukul 10 malam ketika aku masuk kamar kost setelah menemani Rani jalan-jalan berbelanja. Ritual wajib bagi wanita yang sedang patah hati seperti Rani.
Setelah meletakkan tas kerja, aku duduk sejenak di tepi tempat tidur. Merenggangkan kaki. Pegal. Sejak kecil Rani memang gemar sekali menggangguku dalam segala hal. Aku adalah orang pertama yang dihubunginya ketika merasa sedih. Selain harus siap menjadi pendengarnya aku juga harus siap menjadi penghibur untuk mengobati kesedihannya. Meskipun harus menjadi badut, aku rela asal dapat melihat Rani tertawa.
Aku membuka laci meja yang berada di samping tempat tidur, mengeluarkan sebuah buku berwarna coklat dan membukanya. Selembar foto seorang gadis kecil tersenyum menunjukkan gigi tanggalnya.
"Kamulah orang yang tepat itu, Ran."
Aissshh bkin gregetan, kalo aku mah pas Rani nanya gitu langsung ta tembak, hehe!
ReplyDeleteYa, benar jangan mudah percaya, biar jomblo tapi seleksi memilih pacar. Hehe
ReplyDeleteDia sendiri bingung pas ditanya.
ReplyDeleteTapi ya, jadi orang memang harus selektif.
kasihan juga ya si rani tapi dianya juga sih sembarangan cari jodohnya seenak jidatnya wkk
ReplyDeleteKesian si Dani kalo menurutku mah :(
ReplyDeleteKontes SEO BERLANGSUNG !!
ReplyDeleteTotal Hadiah 30 Juta Rupiah
BDdomino.net Dengan Keyword : BandarQ Agen Sakong Judi AduQ Capsa Bandar Poker
BdDomino
Tanggal : 17 Juli 2017 sampai 2 Oktober 2017
Selengkapnya : http://bddomino.org/kontesseo
Tunjukan Kalau Kalian MASTERNYA SEO !!
Saat yang tepat untuk mengetest kemampuan SEO Anda dengan tidak sia-sia.
Tunggu apa lagi? Ikuti kontes ini sekarang juga!
http://dewajudi69.blogspot.com
http://dewijudi69.blogspot.com