Ini tantangan baru bagi saya. Biasanya sebagai orang yang sederhana saya
hanya akan menulis isi di kepala dan menuangkannya. Tanpa beban. Karena
saya memang tidak suka terikat pada suatu hal. Saya benci komitmen. Tapi Ana membawakan sebuah gambar dan saya harus mendeskripsikan gambar
tersebut ke dalam sebuah certa. Susah. Tengok saja gambarnya.
Setiap kali dia memandang aliran sungai kecil di belakang rumahnya, dia jadi teringat sesuatu, terharu, mewek. Karena mengingatkannya akan sesuatu. Bukan karena sungai kecil atau yang biasa disebut kali tempat ibu-ibu nyuci dan anak kecil berak, itu yang mengingatkannya pada masa lalu.
Tapi kali tempat pertama kali dia tersadar dalam mimpi. Mimpi? Mimpikah yang semalam terjadi? Belakangan ini Fajri mengalami kejadian-kejadian janggal yang tak masuk nalar. Seperti mimpi. Tapi nyata. Seperti nyata sebab setiap bangun dia berada di tempat berbeda. Begitu bangun dia langsung melipir ke kali. Beberapa kali Sari atau Ali memergokinya berusaha membangunkannya, tapi dia tetap berjalan. Ngelindur. Begitu terus tiap pagi.
Seperti mimpi tapi nyata, seperti nyata tapi dia selalu kehilangan kesadaran dan terdampar di pinggir kali. Tiap malam ketika dia beranjak ke peraduan mimpi dengan piamanya. Tiap malam tidak ada pertanda aneh. Tiap malam selalu nyaman. Tertidur pulas. Tapi ketika pagi menjelang. Dia bangun dari mimpi yang tetap seperti mimpi. Dia terbangun menjadi sosok lain. Kecil. Tubuhnya tiba-tiba mengkeret. Tanpa busana. Dia bahkan tidak bisa ngomong. Cuma berbaring penuh air seni yang membasahi sekujur tubuhnya. Pesing. Beberapa kali dia mencoba berteriak meminta tolong, tapi suaranya tak mau keluar, tertanam dalam hati. Yang keluar Cuma semacam isakan. Kemudian muncul satu sosok familiar yang tatapan matanya sudah sangat dia hafal. Wajahnya yang bulat bak rembulan memenuhi matanya, seperti gambar di zoom. Penuh dan lebar.
“Cup cup cup. Jangan nangis sayang,” dengan cekatan wanita itu membersihkan tubuhnya. Membasuhnya. Melumuri tubuhnya dengan minyak kayu putih. Memakaikan bedong. Terakhir menggendongnya. Mendekap tubuhnya. Hangat.
Kemudian dia kembali terlelap. Bangun. Tahu-tahu sudah ada di pinggir kali. Linglung. Dia tidak ingat apa yang terjadi. Saat tidur-mimpi-bangun dia berada di pinggir kali. Tapi benarkah itu mimpi? Berkali-kali Fajri mempertanyakan namun tak ada yang terjadi kecuali mimpi-mimpi itu berulang setiap hari.
Kejadian-kejadian tersebut berulang terus tiap hari. Hampir sepekan ini dia tidur dan bangun di tempat lain. Dan puncak kesadarannya selalu di pinggir kali belakang rumahnya. Seperti mengulang fase pertumbuhan dari bayi hingga dewasa. Berjalan begitu cepat setiap malam. Kemarin dia bermimpi merangkak, semalam dia berusaha berjalan. Dan selalu ada sosok sama. Sosok yang telah lama dirindukannya.
“Ibu,” bisiknya, “Ibu,” bisiknya lagi. Kali ini dengan mengeja sepenuh hati. Seperti flashback, masa lalu itu diputar ulang lewat pantulan air gemericik kali.
“Jangan pergi nak,” bisik sang Ibu di malam dia akan pergi. Dia yang sudah bersiap dengan menenteng tas di bahunya, tak ada lagi alasan untuk mengurungkan niat.
“Aku laki-laki Bu, sudah sepantasnya aku pergi merantau. Aku tidak mau miskin terus,” jawabnya tanpa mau menatap wajah Ibu yang sudah basah.
“Jangan pergi, Nak. Ibu mohon.”
“Aku akan kembali, Bu. Ibu tidak usah khawatir. Aku akan baik-baik saja.”
“Semua orang yang hendak pergi selalu mengatakan hal yang sama. Kembali dan baik baik-baik saja. Ayah mu juga bilang begitu dulu.”
“Aku berbeda dengan Ayah. Aku bukan Ayah. Ibu harus percaya padaku.”
Meski sulit dan berlinang air mata, sang Ibu tetap merelakan kepergiannya walau sebenarnya hatinya tak pernah ikhlas. Dia tetap pergi meski Ibu menatapnya sendu. Dia tetap pergi meski mata Ibu mengalirkan air yang membanjiri seluruh wajahnya.
Betapa baru disadarinya selama ini. Betapa dia lupa dengan janjinya. Dia bahkan lupa telah menyayat hati Ibu dengan menjadi seperti Ayahnya. Dan dia lupa betapa kini dia sudah menjelma seperti Ayahnya.
Kejadian kejadian janggal tiap pagi yang mengingatkannya pada Ibu. Yang membuat otaknya pusing tujuh keliling. Yang membuat dia sadar sebelum menyesal.
“Ibu. Bahkan aku tidak memberitahumu perihal Sari dan Ali,” dia kembali terisak. Mewek. Seperti anak kecil. "Ibu," dia kembali berbisik. Ngeri.
Perlahan dia menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangannya. Dan dia terisak di sana.
"Sudah waktunya kamu pulang, Mas," Sari menyentuh pundaknya dari belakang. Dia tetap terisak tak mampu mengeluarkan suara.
Dengan memutar kembali kenangan yang tidak pernah dia tahu, tapi ada dan nyata. Ibu betapapun jauhnya. Berapapun lamanya. Namun sebuah penghidupan pasti dimulai dari rahim Ibu dan kembali dalam dekapan Ibu.
"Ibu."
Tapi kali tempat pertama kali dia tersadar dalam mimpi. Mimpi? Mimpikah yang semalam terjadi? Belakangan ini Fajri mengalami kejadian-kejadian janggal yang tak masuk nalar. Seperti mimpi. Tapi nyata. Seperti nyata sebab setiap bangun dia berada di tempat berbeda. Begitu bangun dia langsung melipir ke kali. Beberapa kali Sari atau Ali memergokinya berusaha membangunkannya, tapi dia tetap berjalan. Ngelindur. Begitu terus tiap pagi.
Seperti mimpi tapi nyata, seperti nyata tapi dia selalu kehilangan kesadaran dan terdampar di pinggir kali. Tiap malam ketika dia beranjak ke peraduan mimpi dengan piamanya. Tiap malam tidak ada pertanda aneh. Tiap malam selalu nyaman. Tertidur pulas. Tapi ketika pagi menjelang. Dia bangun dari mimpi yang tetap seperti mimpi. Dia terbangun menjadi sosok lain. Kecil. Tubuhnya tiba-tiba mengkeret. Tanpa busana. Dia bahkan tidak bisa ngomong. Cuma berbaring penuh air seni yang membasahi sekujur tubuhnya. Pesing. Beberapa kali dia mencoba berteriak meminta tolong, tapi suaranya tak mau keluar, tertanam dalam hati. Yang keluar Cuma semacam isakan. Kemudian muncul satu sosok familiar yang tatapan matanya sudah sangat dia hafal. Wajahnya yang bulat bak rembulan memenuhi matanya, seperti gambar di zoom. Penuh dan lebar.
“Cup cup cup. Jangan nangis sayang,” dengan cekatan wanita itu membersihkan tubuhnya. Membasuhnya. Melumuri tubuhnya dengan minyak kayu putih. Memakaikan bedong. Terakhir menggendongnya. Mendekap tubuhnya. Hangat.
Kemudian dia kembali terlelap. Bangun. Tahu-tahu sudah ada di pinggir kali. Linglung. Dia tidak ingat apa yang terjadi. Saat tidur-mimpi-bangun dia berada di pinggir kali. Tapi benarkah itu mimpi? Berkali-kali Fajri mempertanyakan namun tak ada yang terjadi kecuali mimpi-mimpi itu berulang setiap hari.
Kejadian-kejadian tersebut berulang terus tiap hari. Hampir sepekan ini dia tidur dan bangun di tempat lain. Dan puncak kesadarannya selalu di pinggir kali belakang rumahnya. Seperti mengulang fase pertumbuhan dari bayi hingga dewasa. Berjalan begitu cepat setiap malam. Kemarin dia bermimpi merangkak, semalam dia berusaha berjalan. Dan selalu ada sosok sama. Sosok yang telah lama dirindukannya.
“Ibu,” bisiknya, “Ibu,” bisiknya lagi. Kali ini dengan mengeja sepenuh hati. Seperti flashback, masa lalu itu diputar ulang lewat pantulan air gemericik kali.
“Jangan pergi nak,” bisik sang Ibu di malam dia akan pergi. Dia yang sudah bersiap dengan menenteng tas di bahunya, tak ada lagi alasan untuk mengurungkan niat.
“Aku laki-laki Bu, sudah sepantasnya aku pergi merantau. Aku tidak mau miskin terus,” jawabnya tanpa mau menatap wajah Ibu yang sudah basah.
“Jangan pergi, Nak. Ibu mohon.”
“Aku akan kembali, Bu. Ibu tidak usah khawatir. Aku akan baik-baik saja.”
“Semua orang yang hendak pergi selalu mengatakan hal yang sama. Kembali dan baik baik-baik saja. Ayah mu juga bilang begitu dulu.”
“Aku berbeda dengan Ayah. Aku bukan Ayah. Ibu harus percaya padaku.”
Meski sulit dan berlinang air mata, sang Ibu tetap merelakan kepergiannya walau sebenarnya hatinya tak pernah ikhlas. Dia tetap pergi meski Ibu menatapnya sendu. Dia tetap pergi meski mata Ibu mengalirkan air yang membanjiri seluruh wajahnya.
Betapa baru disadarinya selama ini. Betapa dia lupa dengan janjinya. Dia bahkan lupa telah menyayat hati Ibu dengan menjadi seperti Ayahnya. Dan dia lupa betapa kini dia sudah menjelma seperti Ayahnya.
Kejadian kejadian janggal tiap pagi yang mengingatkannya pada Ibu. Yang membuat otaknya pusing tujuh keliling. Yang membuat dia sadar sebelum menyesal.
“Ibu. Bahkan aku tidak memberitahumu perihal Sari dan Ali,” dia kembali terisak. Mewek. Seperti anak kecil. "Ibu," dia kembali berbisik. Ngeri.
Perlahan dia menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangannya. Dan dia terisak di sana.
"Sudah waktunya kamu pulang, Mas," Sari menyentuh pundaknya dari belakang. Dia tetap terisak tak mampu mengeluarkan suara.
Dengan memutar kembali kenangan yang tidak pernah dia tahu, tapi ada dan nyata. Ibu betapapun jauhnya. Berapapun lamanya. Namun sebuah penghidupan pasti dimulai dari rahim Ibu dan kembali dalam dekapan Ibu.
"Ibu."
Di lihat dari gambar yang bulet" berwarna, mirip makanan yang sering buat medangan, kalo ga salah namanya kuping gajah apa ya, hehe :-)
ReplyDeleteBtw tapi keren dah, bisa ngepas cerita sama gambarnya
Hmmm, Ibu adalah sesosok yang harus di hargai, tapi terkadang banyak sekali menjumpai orang yang lupa akan Ibu.
ReplyDeleteAh, jadi kangen Ibu saya, sist.
sehebat apapun manusia ingatlah ibu
ReplyDeleteIbu segalanya, makasih ceritanya Mbak. Jadi inget Ibu
ReplyDeleteSingat saja... Ini cukup, mengharukan
ReplyDeleteMengenai gambar, aku juga bingung utk mengartikannya.
ReplyDeleteTapi dari isi cerita, top lah.
Seberapa pun jauh kita berada, kita harus ingat pada ibu. Ibu yang telah mengandung, melahirkan, dan merawat kita. Ibu yang telah membesarkan kita dengan penuh kasih sayangnya.
Sepertinya ada sesuatu kasus yang belum tuntas nih.. mengenai anaknya yang hilang kendali 😓
ReplyDeleteMungkinkah si anak tersebut terpilih..
Saya yakin ini kisah nyata, kalau memang benar nyata Insya Allah masih bisa diatasi.
Artinya tokoh utama berada di rantau bersama sari, namun sudah jarang menjenguk ibunya ya huhu
ReplyDeletejadi pengen nangis,, :( :(
ReplyDelete